.

.

.

.
Bismillahirrahmanirrahim...
Tampilkan postingan dengan label Qur'an-Answer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Qur'an-Answer. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 20 Agustus 2011

Musala Dikelilingi Parit

Jakarta - Tanya:
Assaamu'alaikum Pak Kyai. Musala yang dikelilingi parit yang menempel di fondasi musala tersebut (parit limbah rumah tangga), tetap sucikah musalanya? Terima kasih Wassalamu'alaikum.

(surahman)
Jawab:
Insya Allah musala tetap suci, sejauh air selokan itu tidak masuk ke dalam musala atau ke tempat yang biasa dipakai untuk salat. Wallahu a’lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur’an)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)


Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Salat dengan Imam Anak-anak

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Apa yang harus kita lakukan jika anak kita yang belum balig memaksa menjadi Imam saat salat bareng dengan ibunya. Apakah si Ibu harus mengulang salatnya? Mengingat kalau ditolak takut si anak jadi ngambek dan ga mau salat. Terimakasih untuk penjelasannya. Wasalamualikum.

(lilik)

Jawab:
Perihal boleh-tidaknya anak laki-laki yang belum balig menjadi imam salat, terdapat perbedaan pendapat di kalangan pakar fikih. Mazhab Syafi’i berpendapat anak yang belum balig boleh menjadi imam, dan bermakmum kepadanya adalah sah, baik salat fardhu maupun salat sunnah. Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW yang bersumber dari riwayat Amr bin Salamah di mana ia, selagi masih berumur 6 tahun atau 7 tahun, mengimami salat jamaah orang-orang baligh karena dia adalah orang yang bacaannya terbaik di antara yang ada. Di sini kita lihat, kebolehan itu terkait erat dengan bacaannya yang baik. Artinya, kalau bacaannya masih belum baik, sebaiknya tidak usah menjadi imam.

Sebagian ulama berpendapat tidak boleh bermakmum kepada anak yang belum balig untuk salat fardhu, dan boleh untuk salat sunnah. Hemat saya, dalam rangka pembelajaran dan latihan, sekali-sekali boleh saja Ibu bermakmum kepada anak laki-laki yang belum baligh itu, tetapi jangan terus menerus. Wallahu a’lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Pembagian Waris untuk Istri

Jakarta - Tanya:
Apabila harta seorang suami diperoleh dari warisan yang berasal dari orang tuanya dan di dalam surat wasiat disebutkan bahwa harta tersebut untuk dirinya dan istrinya, setelah sang suami meninggal dunia, apakah harta tersebut otomatis menjadi milik istrinya? Jika tidak berapakah bagian harta waris untuk Istri. Terima kasih.

(erlita)
Jawab:
Tidak! Sebab, istri itu (menantu almarhum) bukanlah ahli waris almarhum, sehingga tidak berhak mendapat warisan. Wasiat almarhum harus dipahami bahwa warisan itu untuk sang suami (anak almarhum) yang dipergunakan untuk kepentingan dirinya dan istri/keluarganya.

Jika suami meninggal dunia, istri berhak mendapat warisan. Apabila suami itu mempunyai anak, istri mendapat bagian satu per delapan, sedangkan apabila tidak mempunyai anak, istri mendapat bagian satu per empat warisan. Wallahu a’lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur’an)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)


Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mengapa Harus Berwudu Setelah Kentut?

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz, kenapa kalau kita kentut cara mensucikan diri adalah dengan berwudu? Kenapa tidak membasuh di tempat yang keluar kentut itu?

(Indra)
Jawab:
Wudu disyariatkan untuk bersuci dari hadas kecil. Wudu bisa batal karena buang air besar (BAB), buang air kecil, mengeluarkan angin (kentut), menyentuh wanita walau tanpa syahwat (mazhab Imam Syafi’i), dan lain-lain. Apa pun penyebab batalnya wudu, cara bersucinya adalah dengan membasuh semua anggota badan yang harus dibasuh ketika berwudu tidak bisa, misalnya, karena batalnya wudu diakibatkan menyentuh wanita dengan tangan kita, lalu yang kita basuh hanya tangan saja. Tidak! Sebab wanita itu sendiri pada hakikatnya bukan barang yang kotor sehingga kita harus membasuh tangan sehabis menyentuhnya. Bukan wanitanya yang membatalkan wudhu, tetapi menyentuhnya.

Demikian pula halnya kalau kita kentut. Yang membatalkan wudu bukan angin kentutnya, tetapi mengeluarkan anginnya. Angin kentut sendiri bukan najis. Celana atau kain sarung kita yang terkena angin kentut tidak harus dicuci. Oleh karena itu, tidak perlu mencuci tempat keluarnya angin akibat kentut, karena kentutnya sendiri bukan najis. Wallahu a’lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur’an)


(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Hukum Ucapkan Selamat Hari Raya Kepada Non-Muslim

Jakarta - Tanya:
Apa hukumnya jika kita hanya sekedar mengucapkan selamat hari raya bagi umat non-Muslim? Padahal setahu saya itu merupakan sifat yang mendasar yaitu aqidah? Bagaimana munurut Ustadz?

(guntur)
Jawab:
Ada hadis—antara lain diriwayatkan oleh Imam Muslim—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, "Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka dijalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir."

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Isma’îl al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermazhab Syâfi‘î tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka membolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu 'Abbas. Al Qadhi 'Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau adakebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh ‘Alqamah dan al-Auza'i. Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap bermusuhan orangorang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhârî dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu 'Umar, yang menyampaikan sabda Nabi bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, "Assalamualaikum," tetapi "Assamualaikum" yang berarti "Kematian atau kecelakaan untuk Anda".

Nah, jika demikian, wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan "Alaikum," sehingga jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “Bagi Andalah (kecelakaan itu).”

Mengucapkan "Selamat Natal" masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya, dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan "Selamat Natal" mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan "Selamat Natal" paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan. Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas.

Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al Qur'an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata "Allah", misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlâs. Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak sekali pun bertanya, "Di mana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata "ada" bagi Tuhan tetapi "wujud Tuhan".

Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap Isâ al-Masîh berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masîh, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan "Selamat Natal", sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apa pun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak dibenarkan. Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan "Selamat Natal". Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan Isa, "Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi" (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkah bila ucapan "Selamat Natal" dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nûh, Ibrâhîm, Mûsâ, Hârûn, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk 'Isa AS, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) 'Isa AS.? Bukankah Nabi SAW juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir‘aun dengan berpuasa 'Asyura’, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, "Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi), "maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhârî, Muslim, dan Abû Dâwûd, melalui Ibnu ‘Abbâs—lihat Majma’ al-Fawâ’id, hadits ke-2.981).

Bukankah "Para nabi," sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, "bersaudara, hanya ibunya yang berbeda?" Bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian halnya, apa salahnya mengucapkan "Selamat Natal" selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al Qur’an sendiri yang telah mengabadikan "Selamat Natal" itu? Itulah, antara lain, alasan yang membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat Al Qur'an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, Al Qur'an dan hadis Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.

Sahabat Nabi, Anas bin Mâlik, menyampaikan bahwa seorang anak Abû Thalhah sedang sakit ketika Abû Thalhah harus keluar rumah. Saat kepergiannya itu, sang anak meninggal dunia. Ketika Abû Thalhah kembali dia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan kepada suaminya dengan berita sedih yang sifatnya dadakan) menjawab, "Dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya." Tenteramlah hati suami mendengar hal itu, karena dia menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu adalah kematian. Bukankah kematian bagi seorang anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abû Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya, dia melaporkan kepada Nabi saw. Beliau bertanya, "Apakah semalam kalian berhubungan seks?" Pertanyaan ini diiyakan oleh Abû Thalhah. Nabi pun lalumendoakan suami-istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhârî danMuslim (lihat Riyadh ash-Shalihin karya an-Nawawi, hadis ke-44). Terlihat di atas, bagaimana Nabi membenarkan atau tidak menegur istri Abu Thalhah yang menggunakan istilah yang dipahami berbeda oleh pembicara dan mitranya. Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian.

Salah satu contohnya adalah dalam QS. Saba' [34]: 25, Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan 'dosa besar' yang telah kamu perbuat. Kami pun tidak mempertanggungjawabkan 'apa yang kamu lakukan'. Dalam redaksi ini, “dosa besar”dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil. Sedangkan 'apa yang kamu lakukan' dipahami juga oleh lawan bicara dengan 'dosa-dosa kecil', tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan, dan dosa-dosa besar. Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan dikutip oleh al-Qasimi.

Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat Natal" sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkannya sesuai dengan penggarisan keyakinannya. Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan "Selamat Natal", bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al Biqa'i dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. al-An'am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

Demikian, wallahu a'lam.

(M Quraish Shihab)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Sahkah Salat di Lingkungan Non-Muslim?

Jakarta - Tanya:
Pak Ustadz, sahkah salat saya jika dilakukan dilingkungan yang tidak islami atau ada lambang/atribut agama lain? Misalkan di lembaga pendidikan atau rumah sakit yang dikelola oleh lembaga/agama lain.

(taufik)

Jawab:
Tidak ada larangan salat di rumah ataupun lingkungan orang non-Muslim, selama tempat salat yang digunakan tidak najis, dan tidak ada juga di sekitar tempat salat itu salib, atau patung yang dijadikan simbol yang mengandung kesan syirik/mempersekutukan Tuhan. Salat Anda tetap sah. Demikian, wallahu a’lam.

(M Quraish Shihab)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mengenai Doa Qunut

Jakarta - Tanya:
Assalamuilaikum, Apakah sah salat saya karena terbiasa salat subuh tidak memakai doa qunut sebelum sujud? Lalu apa doa yang dibaca jika dalam salat berjamaah dalam qunut ketika imam diam diantara qunut dan akan melaksanakan sujud?

(sofina)
Jawab:
Qunut adalah membaca doa setelah berdiri dari ruku’ dan sebelum sujud. Demikiam maknanya secara umum dalam pandangan pakar-pakar hukum Islam. Cukup kuat riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah melakukan qunut selama sebulan penuh, mendoakan pada pembangkang dari suku Ru’al dan Zakwan, yang membunuh pengajar-pengajar al-Qur’an yang beliau utus untuk mengajar mereka. Beliau juga membaca qunut—setelah perjanjian Hudaibiyah—untuk mendoakan kaum lemah dan orang-orang yang tertindas di kota Mekkah. Ada lagi riwayat yang menyatakan bahwa beliau juga—di samping shalat Subuh—pernah ber- qunut pada salat Maghrib, Isya, zuhur, bahkan shalat Ashar.

Dengan demikian Nabi SAW menurut aneka riwayat, pernah membaca qunut pada semua salat. Dari aneka riwayat itu timbul berbagai pendapat sejalan dengan penilaian tentang ke-shahih-an riwayat atau pengompromiannya. Ada yang berpegang pada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi SAW selalu membaca qunut dalam setiap salat sehingga mereka menganjurkan pembacaannya setiap salat. Ada lagi yang berkata bahwa karena Nabi tidak selalu membaca qunut, maka anjuran ber-qunut dilaksanakan bila ada sebab-sebab tertentu, misalnya adanya petaka atau krisis (Qunut Nâzilah).

Ada lagi yang berpendapat bahwa qunut dilakukan setelah salat yang dilaksanakan tidak dengan suara nyaring. Pendapat lain sebaliknya, yakni tidak membaca qunut kecuali pada salat yang dilaksanakan dengan bacaan di-jahar-kan, yakni Subuh, Maghrib, dan Isya. Ada lagi yang menjadikannya khusus pada salat Subuh. Alasannya antara lain adalah Firman Allah "Peliharalah segala salat (mu), dan (peliharalah) salat wusthaa. Berdirilah demi Allah qânitîn” (QS. al-Baqarah [2]: 238). Penganut paham ini memahami salat wusthâ dalam arti salat Subuh dan berdirilah qânitin dalam arti berdirilah melaksanakan qunut, bukan seperti pemahaman ulama lain bahwa salat wushtha adalah salat Ashar dan berdirliah qanitin dalam arti laksanakanlah salat secatra sempurna dan khsusyu’. Tentu saja masing-masing masih memiliki alasan-alasan lain yang bukan di sini tempatnya dirinci.

Qunut pada salat witir pun demikian. Yang jelas ia boleh, tetapi tidak membatalkan salat bila ditinggalkan. Ada sahabat-sahabat Nabi yang sama sekali tidak ber-qunut dalam salat witir. Ada juga yang berqunut pada salat witir hanya pada paruh terakhir Ramadan, dan ada kelompok ketiga dari para sahabat Nabi yang selalu ber-qunut dalam salat witir sepanjang tahun. Ada ulama yang menganjurkan amalan sahabat kelompok pertama, seperti Imam Mâlik, ada juga yang memilih amalan kelompok sahabat yang kedua seperti Imam Syâfi‘î dan Ahmad,yakni hanya paruh kedua Ramadan, dan ada lagi yang mengikuti kelompok ketiga yang ber-qunut dalam salat witir sepanjang tahun, seperti Imam Abû Hanîfah. Semuanya benar dan masing-masing memiliki alasannya. Demikian, wallâhu a‘lam

(M Quraish Shihab)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mengenai Otentisitas Al Qur'an

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Bagaimana tanggapan Ustadz tentang orang yang ingin menggugat otentisitas Al Qur'an?

(mumuh)
Jawab:
Setiap orang berhak untuk menggugat otentisitas Al Qur'an dan hak untuk itu dijamin di dalam Al Qur'an (Q.S. Al-Baqarah/2: 23) asal mampu menunjukkan bukti dan argumentasi yang benar dan dapat dipertanggung jawabkan; bahkan manusia diberi hak oleh Allah untuk beriman atau kufur kepada Allah (Q.S. Al-Kahfi/18: 29). Jika memilih beriman Allah suka, jika memilih kufur Allah murka. Tugas kaum Muslimin memahami kebenaran Al Qur'an, memiliki pengetahuan yang mendalam sehingga mampu membantah tuduhan siapa saja yang berusaha menggugat otentisitas Al Qur'an dengan cara yang lebih meyakinkan. "Dan bantahlah argumentasi mereka dengan bantahan yang lebih baik". (Q.S. Al-Nahl/16: 125)

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)


Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mengamalkan Doa Kanzul Arasy

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Apa hukumnya bagi kita jika mengamalkan doa Kanzul Arasy? Terima kasih atas pencerahannya. Wassalam,

(rahman)
Jawab:
Ada beberapa ungkapan doa. Pertama, ungkapan doa dari Al Qur'an. Ini berarti memohon kepada Allah dengan ungkapan Allah. Kedua, ungkapan doa dari Rasulullah SAW Ini berarti berdoa kepada Allah dengan ungkapan doa dari kekasih Allah. Ketiga, ungkapan doa dari para sahabat yang mulia. Keempat, ungkapan doa dari para ulama salaf yang saleh (al-salaf al-shalih). Kelima, ungkapan doa dari manusia biasa seperti kita yang berupa terjemahan dari Al Qur`an, dari doa Rasulullah SAW, para sahabat, atau dari ungkapan para ulama. Keenam, redaksi doa yang berasal dari diri kita sendiri dalam bahasa kita, baik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (bahasa ibu).

Doa Kanzul 'Arasy termasuk salah satu uslub (ungkapan, redaksi) doa yang berasal dari para ulama yang saleh. Jadi tidak dilarang dalam Islam berdoa dengan susunan doa yang berasal dari para ulama salaf, bahkan lebih baik dibandingkan dengan doa dalam bahasa Indonesia susunan manusia biasa seperti kita. Boleh jadi inpirasinya berasal dari Al Qur`an dan doa Rasul atau nama-nama Allah yang indah (al-asma al-husna).

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Perbedaan Kiblat Imam dan Makmum

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz, apa hukumnya salat berjamah antara imam dan makmum tidak sama menghadap kiblat, imam agak miring ke kiri sedang kan mammum lurus sesuai kiblat di masjid. Arah kiblat mesjid sudah benar dan sudah dikalibrasi dengan alat kompas oleh ahlinya mohon penjelasan

(toto)
Jawab:
Salah satu rukun salat itu menghadap Ka'bah, jika kita berhadap-hadapan langsung dengan Ka'bah yang berada di Masjid Al-Haram, Mekkah al-Mukarramah. Jika kita berada jauh dari Ka'bah, maka kita salat menghadap ke arah Ka'bah (qiblat). Arah Ka'bah (Qiblat) diuasahakan harus seakurat mungkin, tetapi jika tidak terpenuhi, maka sekurang-kurang meyakini bahwa kita salat menghadap ke arah Ka'bah (qiblat). Oleh sebab itu, perbedaan posisi shalat di antara Imam dan ma'mum dalam batas yang bisa ditoleransi seperti kemiringan satu dua derajat tidak membatalkan salat berjama'ah.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Semua Muslim Akhirnya Masuk Surga?

akarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Apakah benar bahwa umat islam nanti akhirnya akan masuk surga juga setelah dicuci dulu dosanya di neraka. Wassalam.

(liages)
Jawab:
Ada dua penghuni nereka. Penghuni yang tetap dan penghuni tidak tetap. Penghuni tetap adalah mereka yang mati dalam keadaan kafir, menyekutukan Allah, dan dalam keadaan munafik yakni pura beriman, padahal di dalam hati menyembunyikan kekufuran. Orang beriman tentu saja semuanya masuk surga, namun ada yang langsung masuk surga dan ada yang singgah dulu di dalam nereka. Orang beriman yang sempat singgah di dalam neraka adalah penghuni neraka yang tidak tetap. Mereka mutasi dari neraka ke dalam surga setelah menjalani hukuman Allah sesuai dengan tingkat dosanya. Al Qur`an membimbing manusia supaya bebas dari azab neraka (Q.S. Al-Baqarah/2: 201). Demikian juga doa yang selalu dipanjatkan oleh para sahabat dan para ulama salaf seperti dalam doa selamat "Wan Najata Minan Nar", dan selemat dari api nereka. Mengapa? Karena satu hari di akhirat sebanding dengan seribu tahun di dunia. Berarti satu hari di neraka berarti sama dengan seribu tahun di dunia. Wassalam.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Apakah Hukum Memelihara Anjing?

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Bagaimana hukumnya memelihara anjing?

(zahrotul)

Jawab:
Boleh saja memelihara anjing, karena Rasulullah SAW sendiri penyayang binatang termasuk menyayangi anjing; namun, di balik kebolehan itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, anjing binatang yang najis, bulu maupun moncongnya. Orang beriman perlu memperhatikan kesucian dirinya, pakaian, tempat dan perabotan rumah tangganya dari najis. Oleh sebab itu, kebolehan memelihara anjing tidak berarti kebolehan hidup bersama anjing, karena hidup bersama anjing sangat mengganggu kesucian dari najis. Kedua, orang beriman tidak sah melakukan salat, baik salat wajib maupun salat sunat, jika badan, pakain, tempat maupun benda-benda yang menempel dengan dirinya terkena najis seperti bekas jilatan anjing. Ketiga, cara membersihkan najis yang berasal dari jilatan anjing tidak cukup dengan air dan tidak cuku sekali, tetapi enam kali dengan air satu kali dengan tanah bersih yang diambil dari ke dalaman tanah sekurang-kurangnya 50 cm yang tidak bercampur dengan kotoran manusia maupun binatang.

Jadi kesimpulannya ada dua sikap yang direkomendasikan. Pertama, tidak memelihara anjing bukan karena dilarang, tetapi karena sangat merepotkan. Seperti dijelaskan di atas. Kedua, tetap memelihara, tetapi dipisahkan dari kehidupan manusia secara langsung, biar di kandang tersendiri yang tidak akan berdampak menebar najis pada badan, pakaian dan perabotan rumah tangga kita.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)


Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mendoakan Non-Muslim Berdosa?


Mendoakan Non-Muslim Berdosa?
Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum. Apakah kalau kita mendoakan orang kafir yang sudah benar benar melakukan perbuatan yang dibenci oleh Allah SWT, seperti menyukai sesama jenis dan non islam, supaya mereka mendapat petunjuk dan segera beriman kepada Allah SWT itu berdosa?

(shella)

Jawab:
Pertama, mendoakan mereka supaya sadar dari kekeliruannya, bertobat kepada Allah dan supaya hatinya terbuka, serta tergerak untuk masuk Islam atau menjadi Muslim yang saleh atau salehah merupakan pekerjaan mulia, karena kita telah menjadi manusia beriman yang peduli terhadap nasib sesama manusia, terutama tentang masa depan mereka dalam kehidupan setelah mati di akhirat. Sekali lagi ini pekerjaan mulia yang pahalanya luar biasa. Kedua, jalur doa ini menjadi tertutup jika orang kafir itu sudah mati. Selama masih hidup berdoa kepada siapa saja masih terbuka dan tersalur dengan baik, tetapi kematian mengakhiri semuanya. Begitulah role of games kehidupan ini ditentukan oleh Allah. Doa bagi orang yang sudah mati hanya akan connection, jika antara yang berdoa dan yang didoakan ada kesamaan iman.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Fitnah Sebagai Penghalang Seseorang Untuk Mewaris?

Jakarta - Tanya:
Salam, Sepengetahun saya dalam Al Quran dan Hadits Seseorang terhalang untuk mewaris dikarenakan oleh beberapa hal, diantaranya:

1.Membunuh Pewaris, 2.Berbeda Agama , pertanyaan saya, Apakah dengan Memfitnah Pewaris telah melakukan perbuatan pidana? (yang diancam dengan 5 tahun penjara) Juga dapat menjadi halangan seseorang Ahli waris mendapatkan Warisan? Kemudian bagaimana penafsiran Ayat Al Quran bahwa "memfitnah Lebih kejam daripada membunuh", Apakah jika berangkat dari "analogi" tersebut dapat di jandikan Dalil Dalam Hal seseorang terhalang untuk mewaris? Jika membunuh dapat menghalangi seseorang untuk mewaris, bagaimana dengan memfitnah yang notabenya "memfitnah" lebih kejam daripada membunuh?

(ikhwan)

Jawab:
Memfitnah tidak termasuk penghalang waris. Memfitnah lebih keji dari pembunuhan dilihat dari segi akhlak, moral, dan etika. Manusia yang suka memfitnah tidak memiliki integritas pribadi . Mentalnya busuk, akhlaknya tercela. Pribadinya menjadi sumber masalah bagi lingkungannya di mana pun ia hidup.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Mengenai Salat Istikharah

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum, mohon penjelasan apakah salat istikharah dapat dilakukan berulang ulang/lebih dari satu kali dalam sehari? Dan bagaimana hukumnya hal tersebut. Terimakasih atas penjelasannya. Wassalamualaikum

(indri)
Jawab:
Shalat istikharah bisa dilakukan berulang-ulang. Itu ibadah sunat yang sangat utama. Di dalam ada nilai edukasi, yakni menyadarkan kita bahwa hidup kita berada dalam wilayah bimbingan Allah; kita selalu mendekatkan diri kepada dengan melakukan shalat sunat seperti salat istikharah; salat istikharah merupan bentuk konsultasi personal seorang Muslim/ Mulsimah dengan Allah Rabb al-Alamin.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Lebaran Masa Kini dengan Zaman Nabi

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Apa perbedaan lebaran yang di rayakan masa zaman nabi-nabi dulu dengan zaman yang sekarang ini. Apalagi lebaran zaman sekarang ini terlihat serba "wah"?

(fitri)
awab:
Lebaran atau Idul Fitri merupakan hari kebahagian bagi kaum Muslim yang berpuasa di bulan suci Ramadan. Pada hari ini diharamkan berpuasa. Kaum Muslimin dianjurkan berpakaian rapih, pergi ke Masjid atau lapangan untuk shalat `id. Jalan pergi dan pulang diharapkan jalur yang berbeda untuk menunjukkan bahwa kaum Muslimin banyak dan bersatu serta kompak.

Pada hari Idul Fitri dianjurkan untuk bersilaturahim kepada tetangga dan kerabat, terutama orang tua. Soal pola makan dan gaya hidup diusahakan tetap sederhana dan tidak mubazir dan konsumtif, bahkan harus peduli dan berbagi dengan orang miskin dengan membayarkan zakat fitrah sebelum shalat 'id dimulai. Wassalam. Syukran. Matur nuwun.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Hukum Wanita Mengecat Rambut

Jakarta - Tanya:
Apakah hukumnya wanita mencabut alis dan mengecat rambut (warna hitam atau warna lain)? Mohon penjelasan ustadz

(danesh)
Jawab:
Ulama-ulama masa lampau sepakat menyatakan tidak boleh mengubah ciptaan Allah, termasuk memperbaiki alis atau mencabut rambut. Agaknya sikap mereka yang demikian tegas disebabkan karena cara dan alat yang digunakan ketika itu menyakitkan dan dapat membehayakan. Kendati pendapat ini masih dianut oleh sebagian ulama dewasa ini, tetapi ada juga yang mempunyai pendapat berbeda.

Prof. Ahmad Muhammad Jamal, Guru Besar Ilmu Tafsir di Universitas Um al-Qura, Saudi Arabia, menyatakan dalam bukunya Yas’alunaka bahwa: “ dalam majallah Liwa al-Islam yang terbit di Mesir 9/7/1406 H terdapat fatwa yang membolehkan mencabut rambut yang terdapat pada wajah perempuan, mengatur alis serta menggunakan mascara atau alat-alat kecantikan selama tidak berlebih-lebihan karena kebutuhan perempuan kepada hal-hal itu.” Perlu ditambahkan bahwa ini bukan berarti “mencukur habis alis”, tetapi sekadar merapikan, karena mencukur habis mengesankan pengubahan ciptaan Allah, bukankah semua manusia normal memiliki alis?

Pada dasarnya tidak ada larangan mengecat rambut. Nabi SAW menganjurkan agar uban dicat, teteapi sabda beliau: “ hindari warna hitam!” (HR. Abu Daud dan an-Nasa’i), ini agaknya agar tidak terkesan ada penipuan menyangkut usia. Karena itu beliau berpesan: “Siapa yang melamar seorang perempuan, padahal ida mengecat rambutnya, maka hendaklah dia memberitahukannya bahwa dia mencat rambutnya.” Dari penjelasan di atas, ulama membenarkan mengecat rambut selama cat tersebut tidak berwarna hitam. Larangan ini dipahami oleh sementara ulama dalam arti haram, sedang ulama lain sekedar menilainya makruh. Sedang warna lain yang tidak mengesankan pnipuan pada prinsipnya dibenarkan kalau enggan berkata dianjurkan. Demikian, Wallahu A’lam

(M Quraish Shihab)

(Qur'an and Answer ini merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Hukum Janda Menikah Tanpa Wali

Tanya:
Apakah seorang janda bisa menikah tanpa wali, jika ayah dari pihak perempuan tidak pernah beribadah dan saudara laki-laki dianggap tidak mumpuni?

(Eni)

Jawab:
Mayoritas pakar hukum Islam berpendapat bahwa nikah tidak sah tanpa wali. Imam Abu Hanifah berpendapat berbeda. Menurutnya, wanita boleh menikah tanpa wali. Jika ayah perempuan atau saudara laki-laki perempuan tidak bisa bertindak sebagai wali –karena satu dan lain hal– maka ia dapat meminta orang lain untuk bertindak sebagai wali menggantikan dirinya. Wallahu a'lam.

(Muhammad Arifin, Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Wajibkah Salat Saat Keluar Air Ketuban?

Jakarta -
Tanya:
Assalamualaikum. Beberapa saat sebelum melahirkan, seorang wanita mengeluarkan cairan ketuban. Ada yang sebentar ada juga yang lama. Bagaimana hukum salat wanita tersebut? Terima kasih.

(M Hasan Mubarok)
Jawab:
Seorang wanita yang mengeluarkan cairan ketuban sebelum melahirkan masih tetap wajib salat jika memang masih mampu. wanita tersebut diharuskan beristinja dan kemudian berwudu seperti biasa sebelum melaksanakan salat.
Demikian, wallahu a'lam.

(Huzaemah Tahido, Dewan Pakar Pusat Studi Al Qur'an)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

Bolehkah Zikir Ketika Haid?

Jakarta - Tanya:
Assalamualaikum Pak Ustadz. Ketika wanita mengalami datang bulan bolehkah wanita tersebut melakukan zikir? Dan bagaimana adab berzikir?

(anita)
Jawab:
Haid itu karunia Allah kepada kaum wanita. Haid juga merupakan siklus darah pada tubuh manusia yang perlu dikeluarkan guna menjaga kesehatan reproduksi. Haid itu darah kotor dan penyakit atau menimbulkan rasa sakit (Q.S. Al-Baqarah/2: 222). Oleh sebab itu dalam keadaan haid, seorang wanita mendapat dipensasi (keringanan) tidak diwajibkan salat, meskipun shalat itu merupakan kewajiban pokok dalam Islam. Juga tidak dibolehkan berpuasa, termasuk puasa wajib di bulan Ramadan, tetapi puasa wajib dibayar di hari lain.

Siti 'Aisyah berdasarkan bimbingan Nabi SAW berkata: "Kami kaum wanita diperintahkan untuk mengganti puasa (karena mendapat haid), tetapi tidak diperintahkan untuk mengganti shalat (yang ditinggalkan karena haid)". Wanita yang sedang haid juga tidak dibolehkan berhubungan suami isteri hingga bersuci. Selebihnya seperti berzikir, berdoa, menghafal Al Qur`an tidak dilarang. Jumhur ulama melarang wanita yang sedang haid menyentuh Al Qur`an, karena dalam keadaan tidak suci. Adab berzikir dan berdoa, ketika haidh sama dengan adab berzikir dalam keadaan biasa, khusyu', penuh berharap kepada Allah, berpakain yang menutup aurat, bersih dari najis dan sebaiknya menghadap kiblat, di tempat yang layak untuk berzikir.

(Asep Usman Ismail)

(Qur'an and Answer merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan
Selengkapnya...

SMK 1 SEMARANG

NU Online

BINA SARANA INFORMATIKA

Arrahmah.co.id

STMIK NUSA MANDIRI

Pusat Kajian Hadis

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP