.

.

.

.
Bismillahirrahmanirrahim...

Senin, 15 Agustus 2011

Hukum Musik Dalam Islam

Jakarta - Tanya:
Assalamu'alaikum Pak Ustadz. Saya ingin menanyakan tentang hukum musik yang sebenarnya dalam Islam, karena saya mendengar ada beberapa ulama yang melarang dan ada juga ulama yang membolehkan dengan catatan, musik tersebut tidak membawa kemudharatan dan pengerusakan moral.Bagaimanakah hukum musik yang sesungguhnya? Terima kasih atas jawabannya

(basofi)
Jawab:
Agama Islam memperkenalkan dirinya, antara lain, sebagai agama yang sejalan dengan fitrah/naluri/kecenderungan bawaan manusia: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). (Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS. ar-Rûm [30]: 30).

Jika demikian itu halnya agama Allah (Islam), maka tidak mungkin ada suatu pun ajarannya yang bertentangan dengan fitrah. Salah satu fitrah itu adalah kecenderungan manusia kepada keindahan, baik berupa pemandangan alam, keindahan wajah, aroma yang harum, dan tentu termasuk juga suara merdu. Tuhan tidak mungkin menciptakan itu dalam diri manusia kemudian Dia mengharamkannya.

Musik adalah nada atau suara yang disusun demikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik telah lama dikenal manusia dan digunakan untuk berbagai keperluan selain hiburan, seperti pengobatan, mengobarkan semangat, bahkan menidurkan bayi. Kebanyakan ulama abad kedua dan ketiga Hijriah—khususnya yang berkecimpung di bidang hukum—mengharamkan musik. Imam Syâfi‘î, misalnya, menegaskan bahwa diharamkan permainan dengan nard (alat musik yang terbuat dari batang kurma), dan bahwa tertolak kesaksian seorang yang memiliki budak wanita kemudian mengumpulkan orang mendengarkan nyanyiannya.

Imam Abû Hanîfah memandang bahwa mendengar nyanyian termasuk dosa. Ini berbeda dengan pandangan kaum sufi. Mereka pada umumnya mendukung nyanyian. Ibnu Mujâhid tidak menghadiri undangan kecuali jika disuguhkan nyanyian. “Rahmat Allah turun kepada kelompok sufi, antara lain, karena mereka mendengar nyanyian yang mengesankan hati mereka sehingga mereka mengakui kebenaran.” Begitu kata sufi besar, al-Junaid. Imam al-Ghazâlî secara tegas membolehkan musik. Bahkan dia berpendapat bahwa nyanyian dapat menimbulkan ekstase (keadaan amat khusyuk sampai tidak sadarkan diri).

Boleh jadi, lebih dari apa yang ditimbulkan oleh faktor-faktor lain, pendapat ini didukung oleh hampir semua kaum sufi. Al-Ghazâlî mengecam mereka yang mengharamkan musik atau nyanyian, walaupun dia mengakui adanya larangan dari Nabi saw., tetapi dia mengaitkan larangan mendengar musik atau nyanyian itu dengan kondisi yang menyertainya, atau dampak negatif yang dilahirkannya. Hadis Nabi SAW yang melarang nyanyian, antara lain, adalah yang dilakukan wanita di hadapan lelaki di bar (tempat menyuguhkan minuman keras).

Ada hadis-hadis Nabi SAW yang sahih menunjukkan kebolehan bernyanyi atau menggunakan alat musik, antara lain, bahwa Aisyah pernah mendengar nyanyian di rumah Nabi SAW, dan Nabi SAW tidak menegurnya. Aisyah menjelaskan, "Rasulullah SAW masuk ke rumah dan ketika itu ada dua orang budak wanita sedang menyanyikan nyanyian peperangan Buats. Maka Rasulullah pergi berbaring di kasur dan mengalihkan wajah beliau. (Tidak lama) masuk Abû Bakar dan dia menghardik saya seraya berkata, ‘Seruling setan di sisi Rasulullah?’ Maka Nabi SAW menghadapkan wajahnya kepada Abû Bakar dan bersabda, ‘Biarkan keduanya (menyanyi).’ Ketika Abû Bakar pulang, saya memberi isyarat kepada keduanya dan kedua (penyanyi itu) keluar” (HR. al-Bukhârî, Muslim, dan Ibnu Mâjah).

Hadis ini menunjukkan bolehnya menyanyi dan mendengarkannya. Bahwa Rasul memalingkan wajah beliau, boleh jadi untuk menghindar dari melihat penyanyi-penyanyi (bukan mendengar nyanyiannya). Atau boleh jadi karena beliau tidak suka pada nada dan atau syair nyanyian yang menceritakan peperangan Buats—yaitu peperangan antara suku Aus dan Khazraj sebelum kedatangan Islam.

Menurut al-Ghazâlî, adanya izin ini menunjukkan bolehnya menyanyi. Adapun larangan yang ada, maka harus dilihat konteksnya. Ulama-ulama yang melarang musik, menamai alat-alat musik atau musiknya itu sendiri sebagai al-malâhî (alat-alat yang melalaikan dari kewajiban atau melalaikan dari sesuatu yang penting). Dalam konteks inilah musik menjadi haram atau makruh. Akan tetapi, jika musik mendorong kepada sesuatu yang baik, ketika itu dianjurkan. Wallâhu a‘lam.

(M Quraish Shihab)

(Qur'an and Answer ini merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)

Sumber : Detik Ramadhan

Tidak ada komentar:

SMK 1 SEMARANG

NU Online

BINA SARANA INFORMATIKA

Arrahmah.co.id

STMIK NUSA MANDIRI

Pusat Kajian Hadis

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP