Jakarta - Tanya:
Assalamu'alaikum. Diantara penjelas rasional anak perempuan hanya berhak separuhnya dari hak anak laki-laki dalam pembagian waris adalah karena laki-laki membantu mencari nafkah untuk keluarga. Bukankah saat ini banyak anak perempuan yang tak kalah pula dalam membantu nafkah untuk keluarga. Bagaimana jika hak pembagian warisan disamakan saja?
(Evy)
Jawab:
Al-Qur’an ketika mengakhiri salah satu uraiannya tentang pembagian waris menyatakan, Kamu tidak mengetahui apakah orangtua kamu atau anak-anak kamu yang lebih dekat manfaatnya untuk kamu (QS. an-Nisâ’ [4]: 11).
Ini menunjukkan bahwa nalar manusia tidak akan mampu mendapatkan hasil yang terbaik bila kepadanya diserahkan wewenang menetapkan bagian-bagian warisan. Ini juga menunjukkan bahwa ada tuntunan-tuntunan agama yang bersifat ma'qul al-ma'na (dapat dijangkau oleh nalar) dan ada juga yang tidak dapat dijangkaunya.
Berbicara tentang pembagian waris dalam pandangan Islam, kiranya harus diingat bahwa setiap peradaban menciptakan hukum sesuai dengan pandangan dasarnya tentang wujud, alam, dan manusia. Oleh karena itu, merupakan kekeliruan besar memisahkan antara satu hukum syara‘ yang bersifat juz’î dengan pandangan dasarnya yang menyeluruh.
Menafsirkan satu teks keagamaan atau memahami ketentuan hukum agama terpisah dari pandangan menyeluruh agama itu tentang Tuhan, alam, dan manusia—pria dan wanita—pasti akan menjeremuskan dalam kesalahpahaman penilaian dan ketetapan hukum parsial yang keliru. Termasuk dalam hal ini, pandangan Islam tentang waris, khususnya menyangkut hak pria dan wanita.
Pria dibebankan oleh agama membayar mahar dan membelanjai istri dan anak-anaknya, sedangkan perempuan tidak demikian. Oleh karena itu, bagaimana mungkin, al-Qur’an dan Sunnah akan mempersamakan bagian mereka? Bahkan, boleh jadi, tidak keliru yang menyatakan bahwa jika berbicara tentang kepemihakan, sebenarnya al-Qur’an lebih berpihak kepada perempuan yang lemah itu daripada lelaki. Lelaki membutuhkan istri, tetapi dia yang harus membelanjainya. Wanita juga membutuhkan suami, tetapi dia tidak wajib membelanjainya, bahkan dia yang harus dicukupi kebutuhannya.
Kalau kita menerima tuntunan bahwa lelaki harus membelanjai wanita, bagian lelaki yang dua kali lebih banyak dari wanita sebenarnya ditetapkan Allah swt. untuk dirinya dan istrinya. Seandainya dia tidak wajib membelanjainya, setengah dari yang seharusnya dia terima itu dapat mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu sebenarnya cukup untuk dirinya—sebagaimana kecukupan satu bagian untuk pria seandainya dia tidak kawin. Akan tetapi, jika wanita kawin, keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedangkan bagiannya yang satu, dapat dia simpan tanpa dia belanjakan. Nah, siapakah yang habis dan siapa pula yang utuh bagiannya jika dia kawin? Jelas lelaki karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedangkan apa yang dimiliki perempuan tidak digunakannya sama sekali. Jika demikian—dalam soal waris-mewarisi ini, keberpihakan Allah swt. kepada perempuan lebih berat daripada keberpihakan-Nya kepada lelaki. Ini karena lelaki ditugaskan keluar mencari nafkah. Demikian, sekelumit untuk ruang yang sangat terbatas ini. Wallâhu a‘lam.
(M Quraish Shihab, Dewan Pakar Pusat Studi Al-Qur’an)
(Qur'an and Answer ini merupakan kerja sama detikcom dengan www.alifmagz.com)
Sumber : Detik Ramadhan
Kamis, 11 Agustus 2011
Penyetaraan Hak Ahli Waris Untuk Perempuan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar